Minggu, 03 Januari 2010

MENELAAH NOVEL NYALI KARYA PUTU WIJAYA

OLEH
AHMAD FATONI

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan sastra Indonesia pasca 1966 tidak terlepas dari faktor situasi sosial politik pada masa awal kelahiran Orde Baru. Pada periode tersebut terjadi peristiwa penting baik pada bidang sosial, politik, maupun kebudayaan. Dalam bidang kebudayaan termasuk di dalamnya kesusastraan, peristiwa yang cukup penting dan menentukan bagi kehidupan kesusastraan untuk masa berikutnya adalah kemenangan kubu Manikebu dan kekalahan kubu Lekra. Koran-koran dan majalah yang pernah dilarang pada masa Orde Lama, memulai kembali penerbitannya. Terbit juga majalah baru, yakni Horison sebagai majalah sastra sebagai pembaruan dan eksperimen penciptaan karya sastra yang lebih bebas. Latar belakang sosiologis munculnya pembaruan tersebut, selain karena situasi sosial politik awal Orde Baru juga adanya Dewan Kesenian Jakarta, aktivitas kesenian memperoleh subsidi dari pemerintah DKI. Dewan ini memberikan kesempatan kepada para seniman untuk berkreasi secara merdeka. Dengan demikian, kebebasan yang dimiliki ditambah dengan penyediaan fasilitas menyebabkan kegairahan mencipta semakin semarak. Putu Wijaya merupakan salah seorang sastrawan yang produktif. Karya-karya Putu Wijaya banyak mendapatkan tanggapan dari para kritikus sastra. Berbagai komentar terhadap novel-novel Putu Wijaya baik yang bersifat sekilas atau yang sifatnya mendalam bermunculan di media massa, buku, maupun dalam forum-forum seminar. Putu Wijaya berperan penting dalam percaturan kesusastraan Indonesia. Namun demikian, tidak semua karya Putu Wijaya memperoleh apresiasi yang sama. Dalam penelitian ini penulis membatasi hanya pada novel Nyali (1983) yang merupakan novel Putu Wijaya yang kurang banyak mendapat tanggapan dibadingkan novel-novel Putu Wijaya yang lain. Sesungguhnya banyak novel yang menyinggung atau memiliki latar peristiwa sejarah sekitar tahun 1965. Ashadi Siregar pada tahun 1979 menerbitkan novelnya yang berjudul Jentera Lepas (1979) yang menceritakan nasib sebuah keluarga yang berkaitan dengan PKI sesudah peristiwa tahun 1965. Hal lain yang menarik pada novel Nyali bila dibandingkan dengan novel yang menyinggung atau bercerita tentang peristiwa sejarah sekitar tahun 1965 lainnya, adalah gaya penceritaannya tidak menunjuk secara langsung tentang konflik politik yang terjadi pada kurun sejarah sekitar tahun 1965. Demikian juga novel Nyali tidak menunjuk secara langsung pada latar tempat dan nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa sejarah tersebut. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk menganalisis novel Nyali dan penulis ingin membuktikan bahwa konflik sosial dan politik dalam novel Nyali punya kesejajaran dengan sejarah Indonesia sekitar tahun 1965.
1.2. Permasalahan dan Ruang Lingkup
Suatu karya sastra merupakan dunia kemungkinan, ketika pembaca berhadapan dengan karya sastra, maka ia berhadapan dengan kemungkinan penafsiran. Setiap pembaca berhak berbeda penafsiran terhadap makna karya sastra. Hal ini berkaitan dengan masalah sifat, fungsi dan hakikat karya sastra. Hakikat keberadaan karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Mengingat masalah yang ditawarkan dunia sastra sangat luas dan kompleks, maka penulis membatasi ruang lingkup permasalahannya berdasarkan sosiologi sastra. Berkaitan dengan pendekatan yang penulis pergunakan dalam penelitian ini, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Gagagsan pokok apa yang di ungkapkan dalam novel tersebut. Bagaimana cara pengarang menampilkannya. Bagaimana korelasi antara novel Nyali dengan kenyataan dalam sejarah masyarakat Indonesia.
2. Konflik apa yang diungkapkan untuk mempertegas pentingnya gagasan tersebut. Bagaimana konflik sosial dan politik yang terkandung dalam novel Nyali dengan analisis sosiologis.
3. Apakah gagasan itu diwujudkan melalui tokoh/ dalam struktur keseluruhan novel. Apa tokoh merupakan simbol dan konflik yang dibicarakan.
4. Apakah riwayat hidup pengarang bisa dijadikan sumber yang relevan untuk menentukan tema dan gaya penulisannya/ kepengarangannya.
1.3 Tujuan
Beberapan alasan yang telah dikemukakan pada latar belakang merupakan faktor pendorong dilakukannya telaah ini. Sedangkan tujuanya menyangkut masalah teoritis dan praktis. Hal ini berkaitan dengan latar belakang penulis sebagai mahasiswa jurusan sastra yang selalu dituntut untuk menitikberatkan landasan ilmiah dalam kegiatan penelitian sastra.
Secara ringkas tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
Pertama, melalui telaah ini diharapkan dapat mengungkap novel tersebut dengan melihat sosiologi sastra sebagai acuannya
Kedua, melalui telaah ini diharapkan dapat membuktikan sejauh mana sosiologi sastra dapat diaplikasikan kepada novel Indonesia modern dalam hal ini novel Nyali.
Ketiga, menyangkut tujuan praktis, telaah ini diharapkan membantu pembaca untuk memahami novel Putu Wijaya
1.4. Landasan Teori
Dalam telaah ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra sebagai landasan teori dalam menganalisis novel Nyali. Menurut pandangan teori ini, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Menurut Wiyatmi (via Wellek dan Warren,1990) membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi yaitu:
a. Sosiologi pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang.
b. Sosiologi karya sastra: yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya;
c. Sosiologi sastra: yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yang pertama yakni karya sastra dilihat sebagai dokumen sosio-budaya. Bagaiamanapun karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya Wiyatmi(via Abrams, 1981:178).






2. PEMBAHASAN
2.1 Gagasan Pokok Novel Nyali
Novel Nyali karya Putu Wijaya mengisahkan konflik sosial dan politik yang terjadi dalam sebuah negara. Novel ini mengungkap konflik sosial dan politik yang penuh dengan kekerasan dan kekejaman. Konflik sosial dan politik tersebut memiliki kesejajaran dengan konflik sosial dan politik dalam sejarah Indonesia. Konflik tersebut termanifestasi dalam bentuk pembrontakan yang dilakukan oleh gerombolan Zabaza dibawah pimpinan Kropos. Kondisi sosial dan politik dalam negara tersebut sangat potensial bagi munculnya konflik. Akibatnya masyarakat terpolarisasi ke dalam kelompok-kelompok kepentingan, lembaga-lembaga, organisasi, dan kelas-kelas sosial yang tidak selalu memiliki kepentingan yang sama dan serasi. Kelompok-kelompok tersebut adalah Baginda Raja yang mewakili kelompok yang berkuasa, gerombolan Zabaza, dan Jendral Leonel yang sesungguhnya mewakili kelompok militer. Baginda Raja bertujuan untuk mempertahankan sistem politik yang sedang berlaku ; mempertahankan status quo. Jendral Leonel bertujuan merombak sistem yang berlaku atau dengan lain perkataan ia menghendaki terjadinya perubahan sosial, sedangkan gerombolan Zabaza mempunyai cita-cita untuk mengadakan revolusi kepribadian yang membuat setiap warga negara menjadi hamba kerajaan yang baik.


2.2 Konflik sosial dan konflik politik dalam Novel Nyali
Konflik adalah fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat. Pertikaian antar kelompok etnis yang berbeda dalam memperebutkan sumber yang sama juga tidak jarang terjadi dalam masyarakat sekarang. Seperti yang sekarang marak terjadi pertikaian kaum Ahmadiyah dengan golongan islam lain. Sedangkan dalam kehidupan politik masyarakat sering dihadapkan pada konflik dalam rangka untuk mendapatkan atau memperjuangkan kewenangan yang tidak jarang disertai dengan kekerasan. Konflik bisa ditinjau dari aspek sosial dan politik. Konflik sosial bisa diartikan sebagai perjuangan untuk mendapatkan nilai-nilai atau pengakuan status, kekuasaan dan sumber daya. Konflik politik dirumuskan secara longgar sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangaan di antara sejumlah individu, kelompok, ataupun organisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah. Secara sempit konflik politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan untuk menentang kebijakan umum dan pelaksanaannya. Dalam hal ini konflik sebagai penyelesaian ketegangan antara unsur-unsur yang bertentangan, yang mempunyai fungsi stabilisator dan menjadi komponen untuk mempererat hubungan. Konflik juga berfungsi sebagai unsur pengikat di antara kelompok-kelompok yang sebetulnya tidak berhubungan. Konflik adalah unsur penting bagi integrasi sosial. Selama ini konflik selalu dipandang sebagai faktor negatif yang memecah belah. Konflik sosial dalam beberapa cara memberikan sumbangan pada keutamaan kelompok serta mempererat hubungan interpersonal. Kekuasaan merupakan salah satu fenomena politik yang penting. Kekuasaan merupakan hal langka yang menjadi penyebab konflik. Dalam novel Nyali karya Putu Wijaya, konflik yang dominan adalah konflik politik. Namun demikian konflik sosial dalam novel tersebut juga dianalisis karena konflik politik dan konflik sosial dalam novel Nyali saling berkaitan. Konflik sosial merupakan akibat dari terjadinya konflik politik dan mempunyai pengaruh terhadap situasi politik.
2.2.1. Konflik Sosial
Jenis konflik yang dapat dikategorikan sebagai konflik sosial antara lain konflik dalam lembaga perkawinan, konflik dalam merebut jabatan, persaingan, permusuhan, dan konflik golongan. Dalam novel ini terdapat konflik yang bisa dikategorikan sebagai konflik sosial, yakni konflik dalam rangka memperebutkan jabatan. Konflik ini tidak murni beraspek sosial akan tetapi mempunyai tendensi politik. Jendral Leonel memiliki kedudukan yang baik dalam dinas kemiliteran. Ia mempunyai wewenang untuk menentukan kebijakan yang menyangkut keamanan negara. Atas dasar kedudukan itu ia memiliki kecenderungan mempertahankan jabatan ini. Segala usaha dilakukan termasuk pembunuhan yang memiliki motif politik. Dalam novel ini diceritakan bahwa kematian ayah Krosy sesungguhnya masih misterius. Kolonel Krosy menduga bahwa kematian ayahnya karena dibunuh oleh Jendral Leonel. Hal ini dilakukan karena ayah Krosy punya peluang yang baik untuk menjadi saingan. Ia curiga kalau itu semua dilakukan oleh Jendral Leonel yang waktu itu masih berpangkat kolonel. Seluruh reputasi Leonel sangat terpuji, kecuali dalam kasus ayah Krosy. Semua orang menyadari bahwa Leonel berada satu strip di bawahnya. Dan tak seorang pun dapat membayangkan apa yang bisa atau mungkin mendorong Leonel untuk membetot teman seperjuangannya itu ---seandainya memang Leonel yang bertanggung jawab. Krosy sendiri tak bisa memastikan. Ia sempat menyusun beberapa teori. Seandainya saja Leonel yang membunuh ayahnya, pastilah itu ia lakukan dalam keadaan terjepit, atas desakan orang lain. Atau semacam kekhilapan : yang kemudian terus-menerus disesalinya.
Ayah Krosy meninggal sebagai seorang pahlawan. Ia disergap di sebuah bukit dengan tiba-tiba oleh gerombolan Zabaza...Sejak itu Leonel memegang kekuasaan tertinggi di wilayah. (halaman 19-20).
Kematian Kolonel Krosy juga tidak terlepas dari persaingan jabatan ini. Kolonel Krosy punya reputasi yang baik dan menjadi calon untuk menduduki jabatan penting dalam dinas kemiliteran, bahkan mungkin lebih dari itu, yakni peluang untuk mendapatkan kedudukan yang punya wewenang untuk menentukan kebijakan secara luas. Selain peluang, ia juga mempunyai ambisi untuk memperoleh kedudukan yang baik tersebut.
Tak pelak lagi, ia menjadi calon yang paling meyakinkan untuk mengganti kedudukan jendral itu, apabila masa pensiunnya tiba. Tapi masih beberapa tahun lagi. Krosy hampir tak sabar. Ia ingin memegang pimpinan dan menentukan garis besar segala kebijaksanaan. Bukan hanya sebagai pelaksana semata-mata. (halaman 19)
Sejak kecil Krosy selalu bercita-cita mencapai puncak dari kekuasaan militer.... (halaman 19)
Kematiannya sesungguhnya bukan karena ditembak oleh Kropos, akan tetapi sengaja dibunuh oleh Jendral Leonel. Sewaktu Kropos menembaknya, Kolonel Krosy tidak mati. Ia sempat di bawa ke rumah sakit. Dokter Combla tidak sanggup untuk mengembalikan Kolonel Krosy seperti semula.
Krosy tidak mati karena tembakan saudara. Ia dibunuh oleh Leonel....(halaman35)
2.2.2. Konflik Politik
Konflik politik dalam novel Nyali merupakan konflik yang dominan. Konflik tersebut meliputi hampir keseluruhan cerita. Konflik tercermin dalam tema, alur, penokohan dan latar. Analisis sosiologis terhadap novel Nyali dengan mengambil konflik politik. Novel Nyali mengisahkan pergolakan politik yang terjadi di sebuah negara yang mengalami konflik yang tajam, pemberontakan dan kekerasan serta fragmentasi dalam tubuh militer. Hal ini disebutkan secara eksplisit oleh pengarangnya:
"....Baginda tahu sendiri selain Zabaza banyak sekali dendam, sengketa, keinginan membunuh yang ada di seluruh kerajaan...." (halaman 42)
Negara ini mengalami dua periode sejarah, yakni masa Orde Lama dan Orde Baru sejarah monarkhi dan Orde Baru untuk masa periode sejarah dengan sistem republik. Orde Lama ditandai dengan sistem politik otokrasi tradisional atau monarkhi. Kepala negara adalah seorang raja (Baginda Raja). Sedangkan Orde Baru ditandai dengan sistem pemerintahan republik dengan presiden sebagai kepala negara. Konflik politik terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Konflik politik yang terjadi pada masa Orde Baru merupakan akibat dari konflik politik pada masa Orde Lama. Konflik politik dalam kerajaan yang diceritakan dalam novel Nyali terpolarisasi dalam kelompok-kelompok sosial yang memiliki perbedaan-perbedaan peran dan kepentingan. Kekuasaan dan wewenang merupakan hal langka yang sering kali menjadi penyebab terjadinya konflik dan perubahan pola-pola yang telah melembaga. Dalam negara dengan sistem politik otokrasi tradisional kekuasaan mutlak pada raja. Distribusi kekuasaan pada partai-partai politik tidak ada karena kerajaan tersebut tidak memiliki partai politik atau kelompok-kelompok korporatis yang bisa digunakan sebagai pengendali konflik politik, sehingga kelompok dominan dalam hal ini raja memiliki kekusaan mutlak (absolut). Adanya ketidakseimbangan distribusi kekuasaan ini menjadi penyebab terjadinya konflik politik. Dalam negara ini terdapat tiga pihak yang terlibat dalam konflik. Pihak pertama adalah Baginda Raja. Kelompok kedua adalah gerombolan Zabaza. Pihak ketiga yaitu Jendral Leonel yang pada awalnya memanfaatkan kelompok kedua. Ketiga pihak tersebut mempunyai kepentingan yang berbeda dan masing-masing berusaha mewujudkan kepentingannya sehingga terjadi perbenturan kepentingan. Baginda Raja mempunyai kepentingan untuk mempertahankan sistem sosial dan struktur masyarakat yang lama, yakni sistem pemerintahan kerajaan dan sistem perekonomian yang mengandalkan agraris. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam kerajaan ia memiliki kewenangan yang sah untuk menggunakan paksaan fisik dalam menyelesaikan konflik. Sarana paksaan fisik adalah tentara, intelejen, persenjataan, penjara, kerja paksa, pengadilan dan lain-lain. Pihak kedua yakni gerombolan yang bernama Zabaza mempunyai tujuan mengadakan revolusi kepribadian, yakni mereka ingin menegakkan moral baru bagi masyarakat. Masyarakat yang dicita-citakan adalah semua orang menjadi hamba kerajaan yang baik. Setiap orang atau kelompok tidak memiliki ambisi dan kepentingan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Dengan demikian pertentangan- pertentangan dalam masyarakat bisa dihindarkan. Pihak ketiga, yakni Jendral Leonel memanfaatkan kelompok pertama dan kedua demi meraih tujuan pribadi. Ia mempunyai ambisi untuk merebut kekuasaan dengan cara yang tidak sesuai dengan konsensus kerajaan. Ambisi untuk merebut kekuasaan ini menimbulkan konflik-konflik politik yang mendalam dan luas. Ketiga pihak yang terlibat dalam konflik politik tersebut sama-sama mempunyai sumber kekuasaan. Baginda Raja mempunyai sumber kekuasaan karena kedudukannya sebagai raja yang memperoleh legitimasi karena tradisi. Kekuasaan dan peralihan kewenangannya yakni dengan diadakannya pemilihan umum. Berlangsung secara turun temurun. Pemimpin gerombolan Zabaza, yakni Kropos memiliki sumber kekuasaan potensial karena dia memiliki massa yang terorganisasi secara rapi dan berdisiplin tinggi. Ia menggunakan sumber kekuasaan tersebut untuk aktivitas politik berupa gerakan untuk mengadakan revolusi kepribadian dengan menggunakan cara-cara kekerasan seperti teror- isme dan kudeta berdarah. Dengan demikian, sumber kekuasaan tersebut menjadi kekuasaan aktual. Demikian halnya dengan Jendral Leonel. Ia memiliki sumber kekuasaan yang potensial karena kedudukannya sebagai panglima militer yang punya wewenang untuk mengatur kebijaksaan dalam bidangnya. Sebagai panglima militer berarti ia memiliki massa terorganisasi berupa tentara. Ia juga punya kekuasaan aktual karena dia telah menggunakan sumber-sumber kekuasaan di dalam kegiatan politik secara efektif. Setelah ia berhasil merebut kekuasaan dan menjadi pemimpin negara, ia memiliki kewenangan. Dalam novel Nyali tidak digambarkan adanya kelas-kelas sosial seperti halnya dalam masyarakat industri. Struktur masyarakat yang dikisahkan dalam novel tersebut adalah struktur masyarakat yang belum mapan atau belum stabil. Sekelompok masyarakat yang terorganisasi dalam sebuah gerombolan bernama Zabaza mempergunakan cara-cara terorisme dan kekerasan untuk mewujudkan tujuannya. Zabaza menekankan aspek paksaan fisik atau kekerasan sehingga cenderung mengarah pada konflik yang berkepanjangan. Zabaza yang punya disiplin tinggi, terorganisasi rapi, punya pola kepemimpinan yang ketat dan hirarkis, memang sengaja dibentuk dengan menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Zabaza tidak menginginkan cara-cara damai, menggunakan perang dan kekerasan adalah caranya untuk merombak masyarakat. Dengan kata lain Zabaza mempunyai tujuan agar setiap orang menjadi hamba kerajaan yang baik. Hal ini secara eksplisit disebutkan oleh pengarangnya :
"....Gerombolan ini tidak memiliki target merebut pemerintahan. Dia adalah usaha untuk menegakkan moral baru. Semacam revolusi kepribadian yang membuat setiap orang menjadi hamba kerajaan yang baik. Ini terjadi karena sekarang setiap orang sudah terlalu banyak bicara tentang kepentingan-kepentingannya. Dalam kelompok Zabaza, tidak ada lagi kepentingan pribadi. Setiap orang merasa dirinya alat...." (Halaman 65-67)
Pihak kerajaan dalam hal ini tentara kerajaan tidak menggunakan cara lain dalam mengatur konflik ini. Tentara yang dipimpin oleh Jendral Leonel juga menggunakan cara kekerasan dalam rangka membasmi gerombolan Zabaza. Beberapa bawahannya ada yang mengusulkan diadakan perundingan, tetapi Jendral Leonel tidak setuju.
Teror dan pembunuhan politik yang dilakukan gerombolan Zabaza sangat kejam dan tanpa kompromi. Zabaza membunuh Kolonel Krosy yaitu bekas atasan Kropos dalam dinas kemiliteran. Demikian juga dengan penyerbuan ke sebuah desa yang merupakan pertahanan paling kuat tentara kerajaan, yaitu Desa Tongtong. Desa tersebut dihancurkan dan penduduknya dibinasakan. Pada saat yang tepat Zabaza melakukan penyerbuan ke istana, tapi mampu digagalkan oleh tentara kerajaan. Ini memang sesuai dengan rencana Jendral Leonel. Ia menghendaki Zabaza menyerbu istana dan ia menghendaki Baginda Raja terbunuh. Lalu tentara akan menumpas seluruh anggota gerombolan. Pada akhirnya konflik ini mengancam eksistensi sistem politik yang lama yaitu sistem otokrasi tradisional yang mengandalkan sistem agraris. Negara dalam bentuk kerajaan ini diubah secara total dan menjadi republik seperti yang dikehendaki Jendral Leonel.
Konflik politik yang terjadi di sebuah negara yang diceritakan dalam novel Nyali ini memiliki struktur konflik menang-kalah. Situasi konflik tidak memungkinkan diadakannya kompromi dan kerja sama. Dalam konflik seperti ini hanya terdapat dua pilihan, yakni ada pihak yang menang dan pihak lain mengalami kekalahan. Gerombolan Zabaza tidak punya keinginan untuk mengadakan kompromi. Sesungguhnya Baginda Raja menawarkan diadakannya kompromi agar tidak terlalu banyak korban berjatuhan. Akan tetapi Jendral Leonel yang merupakan otak dari seluruh rencana tidak menghendaki cara-cara damai melalui perun- dingan.
"....Saya tak ingin jalan damai, tapi jalan yang berdarah. Bukan karena haus darah, tapi karena segala kekerasan ini akan mengatur suasana tertentu. Dia merupakan satu proses yang akan berguna untuk menyeleksi rakyat kita menuju hari depan yang gemilang. Di masa depan, bayangan saya kerajaan ini akan menjadi satu republik dengan rakyat pilihan...." (Halaman 41)
Karena tidak mungkin diadakan kompromi maka jalan satu-satunya adalah ada pihak yang memenangkan konflik dan pihak lain terkalahkan. Ketika terjadi kudeta oleh gerombolan Zabaza, Baginda Raja beserta keluarganya terbunuh. Dalam cerita ini tidak disebutkan siapa yang sesungguhnya membunuh keluarga raja. Zabaza sesungguhnya tidak punya niat untuk membunuh Baginda Raja. Tentara kerajaan yang dipimpin langsung oleh Jendral Leonel berhasil menumpas gerombolan, walau pemimpin gerombolan yakni Kropos berhasil lolos. Dengan tertumpasnya gerombolan Zabaza berarti gerombolan ini merupakan pihak yang kalah. Akan tetapi pihak kerajaan dalam hal ini Baginda Raja beserta seluruh keluarganya juga merupakan pihak yang kalah. Pihak yang menang adalah Jendral Leonel. Dengan kata lain ia berhasil mengalahkan kedua lawannya untuk mencapai tujuan yakni merebut kekuasaan dengan cara memanipulasi keadaan yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan rencana Jendral Leonel. Ia dapat dikatakan pihak yang menang dan memperoleh jalan untuk merebut kekuasaan dan mengganti sistem negara yang otokrasi tradisional dengan sistem republik dengan program industrialisasi yang menggantikan sistem agraris. Secara kronologis konflik politik dalam novel Nyali semakin intens. Faktor meningkatnya intensitas konflik adalah sumber yang diperebutkan yakni kekuasaan. Karena itu konflik semakin intens. Keterlibatan emosional peserta konflik sangat besar. Gerombolan Zabaza mempunyai ideologi yang sangat dipatuhi oleh setiap anggotanya. Mereka bersedia mati demi kemuliaan tujuan. Apapun dilakukan dengan sikap patuh tanpa sedikit pun merasa gentar. Demikian juga dengan tekad Jendral Leonel. Ia bertekad untuk menghancurkan gerombolan Zabaza dengan kekerasan. Jendral Leonel tidak menghendaki jalan damai. Hal ini berakibat semakin besar perlawanan masing-masing kelompok yang terlibat dalam konflik politik. Gerombolan Zabaza terus-menerus meningkatkan perlawanannya dengan menghancurkan kubu-kubu pertahanan tentara kerajaan. Di pihak tentara kerajaan juga meningkatkan pertahanannya dan perlawanannya terhadap gerombolan Zabaza. Besarnya tingkat perlawanan ini juga menjadi faktor semakin intensnya konflik politik tersebut. Cara pengaturan konflik dengan kekerasan ini mengingat negara ini tidak mempunyai alat-alat politik lain dalam mengendalikan konflik seperti partai politik. Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional merupakan beberapa contoh kelompok korporatis. Kelompok-kelompok yang bertikai dalam hal ini adalah gerombolan pemberontak menggunakan cara kekerasan dalam perjuangannya, sehingga penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan konflik politik sulit dihindari, meskipun sesungguhnya politik adalah alat untuk menghapus kekerasan, untuk menggantikan konflik berdarah dengan bentuk perjuangan sipil yang lebih dingin dan untuk menghapus peperangan. Negara menggunakan kekuatan militer untuk mengatasi konflik. Hal ini mengandung makna bahwa kekuasaan mempergunakan kekerasan untuk menghindari kekerasan yang lebih besar. Kekerasan yang dipergunakan oleh negara adalah kekerasan yang legal karena negara memiliki keabsahan mempergunakan paksaan fisik demi melindungi kepentingan dan kebaikan umum. Negara ini mempunyai kekuatan militer yang tangguh dan senantiasa siap melakukan paksaan fisik terhadap aksi politik yang tidak sesuai dengan kehendak penguasa, yakni pemberontakan dan kekerasan.
dan siap menumpahkan darah. Mereka setia kepada kerajaan sampai titik darah yang peng- habisan....(halaman 43)
Dalam melakukan pengaturan konflik dengan menggunakan kekuatan militer ini, kerajaan sering mengalami kegagalan. Gerombolan Zabaza sangat kuat dan senantiasa melakukan penyerangan ke kubu-kubu pertahanan kerajaan. Pada saat penyerbuan ke istana, tentara kerajaan berhasil menumpas gerombolan Zabaza sampai ke akar-akarnya. Namun keberhasilan ini tidak untuk jangka panjang, sebab pada waktu- waktu berikutnya sisa-sisa gerombolan ini tumbuh lagi. Dengan kata lain cara kekerasan militer tidak mampu untuk menyelesaikan konflik politik antara negara dengan gerombolan Zabaza. Sesungguhnya Baginda Raja bermaksud mempergunakan cara damai dalam rangka pengaturan konflik. Pada suatu malam ia memanggil Jendral Leonel untuk menghadap di istana. Semula Jendral Leonel mengira bahwa Baginda Raja hendak meminta pertanggungjawaban atas kekalahan tentara kerajaan di Desa Tongtong, tetapi dugaan itu keliru. Baginda Raja dan Jendral Leonel terlibat dalam pembicaraan mengenai nasib kerajaan yang dilanda sengketa dan pertumpahan darah. Dalam pembicaraan itu Baginda Raja mengusulkan perundingan untuk menyelesaikan konflik agar tidak jatuh korban lebih banyak lagi.
"Aku ingat kalau kita mengadakan pesta dan memperalat gelas-gelas minuman untuk menyembunyikan perasaan- perasaan kita yang sebenarnya. Malam ini, itu tidak perlu terjadi. Jadi Anda sudah merencanakan untuk mengadakan perombakan dalam kerajaan ini?"Leonel terdiam. Ia memandang ke kejauhan.
"Kenapa Anda tidak bicara langsung dengan aku? Apa perlu begitu banyak tumpah darah. Mereka yang tak berdosa itu?" (halaman 40)
Usul Baginda Raja tidak disetujui oleh Jendral Leonel. Ia menghendaki cara kekerasan dalam menyelesaikan konflik politik tersebut.
"....Saya tak ingin jalan damai, tapi jalan yang berdarah. Bukan karena haus darah, tapi karena segala kekerasan ini akan mengatur suasana tertentu. Dia merupakan satu proses yang akan berguna untuk menyeleksi rakyat kita menuju hari depan yang gemilang. Di masa depan, bayangan saya kerajaan ini akan menjadi satu republik dengan rakyat pilihan. Yang tak berhak untuk hidup harus cepat dibuang." (halaman 41)
Mengingat ada pihak yang tidak sepakat menggunakan cara damai dalam rangka pengaturan konflik, maka jalan kekerasan dipergunakan oleh Jendral Leonel untuk menghancurkan gerombolan Zabaza sekaligus untuk mewujudkan tujuan Jendral Leonel, yakni memenangkan konflik dan mengubah bentuk pemerintahan.
Konflik sosial dan politik dalam kerajaan yang dikisahkan dalam Nyali mengakibatkan perubahan yang cukup radikal. Gerakan pemberontakan dan kudeta terhadap pemerintahan (Baginda Raja) mengakibatkan berubahnya sistem negara tersebut. Sebelumnya negara ini menganut sistem pemerintahan monarkhi (otokrasi tradisional) dengan raja sebagai kepala negara. Negara ini pada mulanya mengandalkan sistem agraris sebagai penopang perekonomian tetapi setelah terjadinya kudeta dan terjadinya peralihan kewenangan secara paksa dari Bagainda Raja kepada Jendral Leonel, maka sistem negara tersebut diubah menjadi republik dengan industri sebagai penopang utama perekonomian.
Ia bersedia menjadi pemimpin menggantikan baginda, tetapi ia tidak mau sebuah kerajaan. Ia menginginkan sebuah republik. Diluar dugaan keinginannya itu tidak mendapat tantangan. Apa saja yang dikehendakinya, asal saja ia mau menjadi pemimpin, pasti akan diterima. (halaman 80)
Rakyat menikmati buah kemerdekaan setelah pertumpahan darah yang penghabisan (halaman 83)
Usaha untuk menjadikan negeri itu untuk tidak tergantung lagi pada tanah sudah mulai dilakukan. Rencana- rencana pembangunan beberapa buah industri disebarkan. Sawah dirubah menjadi rimba beton yang setiap hari akan gemuruh menggerakkn asap ke udara --sambil menghisap ribuan tenaga kerja. (halaman 84)
Sejalan dengan datangnya perdamaian dan masa-masa pembangunan wajah setiap orang menemukan bentuknya. Pribadi masing-masing berkembang. Ilmu digalakkan dan diserakkan lebih objektif. Jalan pikiran tumbuh dengan bebas.... (halaman 84)
Kepemimpinan Leonel setelah menumbangkan rezim lama bersifat ekstrimis. Ia berupaya menghancurkan seluruh rezim lama dan menggantinya dengan sistem yang sama sekali baru. Organisasi politik, yakni militer yang dimilikinya sangat kuat, patuh dan disiplin dan menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuannya. Masa peralihan kewenangan dan kekuasaan ini merupakan masa transisi. Meskipun dalam Nyali masa transisi telah terlewati, namun sesungguhnya terdapat benih-benih konflik. Sistem politik mengalami masa transisi, karena terjadinya perubahan masyarakat dari bentuk tradisional yang berstruktur sederhana menjadi masyarakat modern yang berstruktur kompleks. Pada situsi ini terjadi banyak perubahan termasuk tingkat pendidikan, peningkatan aspirasi dan harapan-harapan baru. Karena perubahan-perubahan tersebut tidak aneh jika terjadi krisis, sehingga berakibat masyarakat mempertanyakan prinsip-prinsip yang mendasari legitimasi kewenangan Jendral Leonel sebagai presiden. Krisis ini juga ditandai oleh melemahnya dukungan masyarakat terhadap lembaga- lembaga politik. Pada akhirnya kewenangan Jendral Leonel kehilangan legitimasinya karena banyak orang tidak mengakui hak moral penguasa untuk memerintah.
Perubahan yang terjadi tidak memuaskan semua orang. Beberapa kalangan mempertanyakan perubahan ini. Pada suatu ketika Jendral Leonel mendapat pertanyaan langsung dari seseorang tentang perubahan tersebut. Perubahan ini akhirnya menimbulkan konflik baru. Konflik tersebut diakibatkan oleh ketidakpuasan sebagian rakyat terhadap kepemimpinan Jendral Leonel. Beberapa keteledoran pada pelaksanaan program kebijakan menyebabkan semakin memanasnya situasi politik. Pengadilan memutuskan perkara secara tidak adil, sehingga menimbulkan kehebohan di kalangan media massa. Korupsi tidak dapat dihindarkan lagi. Rakyat menuntut agar Jendral Leonel mengungkapkan fakta yang sesungguhnya dari peristiwa pada masa lalu yang meminta banyak korban. Tuntutan ini termanifestasi dalam bentuk demonstrasi mahasiswa dan artikel-artikel di media massa.
"Tidak ada batasnya untuk meragukan. Untuk menilai sesuai dengan kodrat kita sebagai bangsa yang mawas diri. Segala sumbangan pikiran untuk pembangunan adalah kongkrit dan mutlak adanya. Menyuruh orang berhenti untuk meragukan dan mengkritik sama saja dengan menegakkan tirani, satu hal yang saya kira sangat ditentang oleh Yang Terhormat Jendral Leonel sendiri. Karena itu buka. Kalau perlu bentuk sebuah tim khusus untuk menangani soal besar ini. Sidangkan. Beberkan kepada rakyat. Jangan disembunyikan lagi. Kita semua orang merdeka dan pantas melihat kebe- naran!" (halaman 87)
Pada saat situasi politik semakin memanas karena munculnya konflik baru ini, sisa-sisa gerombolan Zabaza memulai lagi aktivitasnya. Kropos yang mengasingkan diri di sebuah ladang yang sunyi dijemput oleh beberapa orang sisa gerombolan Zabaza dan mengajak untuk memulai aktivitasnya. Kropos setuju dengan ajakan ini.
2.3 Aspek Simbolis dalam Novel Nyali
Dalam Novel Nyali gagasan pokok diungkapkan pada keseluruhan struktur novel,mulai dari tema, alur, tokoh, latar, watak dll. Pada bagian ini penulis menguraikan aspek simbolis dalam novel Nyali yang diintrepretasikan secara sosiologis. Simbol- simbol tersebut menyangkut pada penggunaan nama-nama dan peristiwa-peristiwa simbolis.
2.3.1 Penggunaan Nama Tokoh
Nama-nama yang terdapat dalam novel Nyali boleh dikatakan memiliki keanehan, baik nama diri (nama tokoh) dan nama tempat. Nama-nama tersebut ada yang memiliki arti tertentu, namun sebagian besar terkesan bukan nama yang lazim dipergunakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Tokoh utama dalam novel ini menggunakan nama Kropos. Penggunaan nama ini masih mempunyai arti tertentu. Dalam bahasa Jawa istilah "kropos" berarti sebuah benda yang kulit luarnya nampak baik, tetapi isinya rapuh seperti kayu yang bagian luarnya nampak baik tetapi bagian dalamnya rapuh karena dimakan rayap. Penggunaan nama Kropos ini kontradiktif dengan watak tokoh Kropos. Sebagaimana telah diuraikan, Kropos memiliki dimensi watak yang keras, teguh, tabah dalam menjalani berbagai ujian berat dan tahan dalam segala bentuk siksaan dan penderitaan. Ia tidak mudah putus asa walaupun tugas yang ia emban sangat berat dan hampir bisa dikatakan mustahil. Keadaan yang kontradiktif antara arti nama dan watak tokoh utama dalam novel ini mengandung makna lain, artinya meskipun seseorang memiliki watak yang keras, tabah, tangguh, dan berdisiplin tinggi, namun sesungguhnya dalam diri seseorang juga terdapat potensi sifat-sifat yang negatif. Munculnya sifat-sifat yang berlawanan tersebut tergantung dari situasi dan kondisi yang melingkupinya. Ketika Kropos berada dalam lingkungan yang keras dan menuntut ketabahan fisik dan mental, watak Kropos yang positif muncul dan berkembang dengan baik. Sebaliknya, tatkala gerombolan Zabaza berhasil ditumpas oleh tentara kerajaan, watak Kropos mengalami kemunduran. Ia menjadi putus asa. Kropos mengasingkan diri dari kehidupan ramai dan tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya.ketika ia ditangkap Belanda, justru ia sangat ketakutan dan gugup. Dengan kata lain sifat rapuh pada diri Kropos menjadi aktual ketika ia berada dalam situasi dan kondisi yang penuh dengan keputusasaan. Makna simbolis dari nama ini sesungguhnya memiliki kesejajaran dengan realitas sejarah. Bila Kropos dipandang sebagai personifikasi gerombolan Zabaza dan Zabaza dipandang sebagai sebuah ideologi, Zabaza bukan orang, tetapi semacam ideologi...."
Maka hal ini dapat diinterpretasikan bahwa meskipun ideologi memiliki karakteristik yang efektif dan tangguh, tetapi sebenarnya ia juga memiliki kelemahan. Dalam konteks novel Nyali, ideologi Zabaza sesungguhnya memiliki kelemahan. Kelemahannya terletak pada sifatnya yang doktriner. Sifat ini sangat dipatuhi oleh anggotanya dan telah mendarah daging, sehingga mereka tidak punya pilihan lain dan tidak ada upaya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dalam masyarakat. Hal ini terlihat dari tiadanya dimensi fleksibelitas dalam Zabaza.
Zabaza memiliki kesejajaran dengan PKI. Apabila Zabaza dipandang sebagai ideologi, maka Zabaza memiliki kesejajaran dengan ideologi komunisme. Kelemahan ideologi ini terletak pada sifatnya yang dogmatis. Bagaimanapun juga sebuah ideologi selain punya kemampuan memberikan harapan kepada berbagai kelompok atau golongan yang ada dalam masyarakat untuk mempunyai kehidupan bersama secara lebih baik dan untuk membangun suatu masa depan yang lebih cerah, ideologi haruslah memiliki dimensi fleksibilitas, yang terlalu doktriner tidak memiliki fleksibilitas.
Nama-nama tokoh lainnya, yakni Leonel, Chiko, Torzo, Golef, Combla, Krosy, Tirtir adalah nama-nama yang terkesan aneh dan tidak biasa dipergunakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Namun demikian ada nama yang lazim, yaitu Erika. Penggunaan nama-nama yuang terkesan aneh dapat di- interpretasikan bahwa realitas dalam novel tersebut tidak menunjuk secara langsung kepada realitas yang terdapat dalam sejarah Indonesia. Negara yang dikisahkan dalam novel Nyali tidak memiliki nama tertentu, sehingga seakan- akan latar tempat dalam novel Nyali bukan di Indonesia. Namun demikian peristiwa-peristiwa yang dikisahkan terutama konflik sosial dan politik dalam novel tersebut mempunyai kesejajaran dengan konflik sosial dan politik di Indonesia sekitar tahun 1965. Interpretasi lain adalah bahwa peristiwa dalam novel Nyali bersifat universal, artinya konflik politik seperti yang dikisahkan novel tersebut bisa terjadi di negara manapun di dunia.
2.3.2 Peristiwa Simbolis
Peristiwa simbolis yang penulis bahas adalah tindakan atau perilaku tokoh. Perilaku atau tindakan tersebut ditafsirkan sebagai sebuah simbol tertentu. Pada bagian akhir novel Nyali dikisahkan bahwa Kropos mengasingkan diri ke sebuah ladang yang sunyi. Di tempat itu ia bertemu dengan seorang perempuan. Mereka berinteraksi tanpa menggunakan komunikasi verbal, walaupun mereka tidak bisu sampai akhirnya mereka menjadi suami istri.
Kropos telah hidup sebagai suami-istri dengan wanita itu di tengah ladang. Setiap pagi ia mengantar bininya sampai ke sungai. Malam mereka duduk berdua mendengar suara-suara serangga malam. Tetapi keduanya masih juga belum membicarakan sesuatu. Berdampingan dengan bisu. (halaman 94)
Perilaku demikian adalah bentuk dehumanisasi. Hal ini merupakan perilaku yang tidak wajar; merupakan penyimpangan perilaku manusia normal, sebab mereka tidak bisu dan tidak mengalami hambatan secara fisik maupun psikologis. Perilaku bisu ini bisa diinterpretasikan sebagai sebuah simbol sikap frustasi dan protes terhadap kondisi yang tidak dikehendaki walaupun protes tersebut tidak dialamatkan ke sebuah lembaga atau orang tertentu. Keputusasaan yang dialami Kropos merupakan akibat kekalahan gerombolan Zabaza dalam konflik politik segitiga antara gerombolan Zabaza, Jendral Leonel, dan Baginda Raja. Kekalahan total bagi gerombolan Zabaza mengakibatkan Kropos tersingkir dan terasing dalam kehidupan masyarakat yang diwarnai dengan laju pembangunan di segala bidang.
Kropos jadi merasa sunyi. Rasanya ibukota bukan dunianya lagi. Ia mengitari jalan kota, menemukan orang-orang yang makin hari makin asing. Sejak re- publik diproklamirkan menggantikan kerajaan, banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Semuanya merupakan kemajuan. Tetapi Kropos seperti tak ikut serta. Ia bercecer, atau ditinggalkan. Barangkali ia tidak mau ikut. Padahal ia merasa dirinya sudah berusaha untuk mengerti. (halaman 83)
Dalam keputusasaan Kropos berniat bunuh diri. Ia membaringkan tubuhnya di atas rel kereta api. Tapi tidak ada kereta yang menggilasnya karena ia berbaring di atas rel yang tidak terpakai. Ia tidak peduli kereta menggilasnya atau tidak. Kropos tak peduli dirinya sudah mati atau masih hidup. Ia menjadi tidak peduli terhadap sesuatu. Lalu ia meneruskan perjalanan dengan menempuh jalan sesukanya.
Dengan basah kuyup, Kropos meneruskan perjalanan. Ia menempuh jalan sesukanya. Tidak berusaha untuk mencari jalan setapak. Ia maju saja dengan sembrono arah ke timur. Semak-semak diterobosnya. Parit-parit kecil dengan lumpur-lumpur diterjangnya saja. Duri-duri semak melukai kulitnya. Beberapa bagian bajunya robek. Ia tidak peduli. Kemudian ia bertemu dengan hamparan sawah. Ditempuhnya terus dengan cara yang sama. Tidak berusaha meniti di pematang, tapi ia memotong sawah-sawah yang masih ditumbuhi padi-padi kecil. Untung tak ada orang. (halaman 89)
Kemudian Kropos sampai di tepi sebuah kampung. Ia menyeberangi jalan. Masuk pekarangan rumah orang. Melompati pagar, berjalan di antara rumah-rumah. Beberapa orang memperhatikannya, tapi ia tidak peduli. Akhirnya ia tembus kampung itu dan menjumpai kembali sungai yang tadi. Kini sungai itu melebar. Di atasnya ada jembatan bambu. Kropos terus berjalan tanpa menghiraukan jembatan tersebut. Ia memanjat tepi dan memasuki sebuah rumah yang lain. Sebuah kampung yang lain. Semak-semak, pematang, pagar rumah orang, hutan kecil, lalu jalan kereta api kembali, kemudian sebuah tanah datar yang luas. (halaman 89)
Sikap tak peduli pada diri Kropos adalah sikap keputusasaan. Demikian halnya dengan sikap membisu antara dia dan istrinya di ladang yang sunyi. Hidup berdampingan sebagai suami-istri dengan bisu. Bahkan sikap tak peduli juga sering ditunjukkan kepada istrinya. Ketika istrinya memijit-mijit kakinya, Kropos tak peduli. Tatkala istrinya membawakan radio, Kropos menerimanya, tapi tidak berusaha membunyikannya. Selanjutnya radio itu selama berbulan- bulan tidak pernah dibunyikannya. Demikian pula ia tak pernah mengikuti wanita itu pergi.
”Tak seorang pun yang berani dituduh sebagai Zabaza. Itu berarti memikul seluruh darah yang telah mengalir di kerajaan itu dulu yang kini telah menjadi sebuah republik”. (halaman 82)
Meskipun Zabaza telah ditumpas, tapi sisa-sisa Zabaza selalu dicurigai. Bahkan ketika ada polemik politik dan demonstrasi, Zabaza dicurigai sebagai penggeraknya. Demikian juga dengan sisa-sisa anggota PKI merasa tersingkir dan terbuang dalam kehidupan Orde Baru yang diwarnai dengan laju pembangunan di segala bidang. Mereka yang selamat dari pembantaian atau keluar dari penjara atau tempat pembuangan merasa tersisih sebagai orang yang kalah. Apalagi sikap pemerintah yang senantiasa menghukum dengan cara deskreminasi dalam berbagai hal, seperti pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kehidupan politik (tidak boleh mengikuti pemilu). Dalam keputusasaan dan penderitaannya sebagai warga negara yang tersisih, bukan berarti dalam pikiran mereka tidak pernah terlintas untuk memulai aktivitas yang sifatnya politis. Pada akhir cerita dalam novel Nyali dikisahkan bahwa Kropos bermimpi menjadi Zabaza kembali, berjuang dalam rimba dan memimpin penyergapan. Lalu ketika ia terbangun ia menyadari telah dijemput dua puluh orang berpakaian hitam dan membawa senjata. Mereka mengajak Kropos untuk memulai lagi aktivitas seperti dulu. Kropos setuju. Peristiwa tersebut merupakan simbol bagi munculnya bentuk-bentuk perlawanan dari sekelompok orang terhadap kondisi yang ada. Bentuk perlawanan tersebut tidak pernah hilang dalam masyarakat selama dalam masyarakat masih ada ketimpangan, walaupun kelompok perlawanan tersebut telah dihancurkan oleh penguasa. Demikian juga dengan peristiwa dalam novel Nyali. Meskipun Zabaza telah dihancurkan oleh tentara kerajaan, tetapi ketika dalam masyarakat terjadi konflik yang termanifestasikan dalam bentuk demonstrasi, polemik politik di media massa, ketidakberesan dalam proses pengadilan, maka sisa-sisa Zabaza membangun kekuatan untuk memulai lagi aktivitas perlawanan. Apabila dihubungkan dengan realitas dalam masyarakat, peristiwa tersebut ada kemiripan dengan bangkitnya sisa-sisa PKI. Meskipun PKI sudah ditumpas, tetapi ada indikasi bahwa sisa-sisa anggota PKI berusaha untuk konsolidasi. Indikasi ini ditunjukkan dengan diadakannya Kritik Oto Kritik pada tahun 1986 oleh sisa-sisa PKI.kuan Basuki Resoboso, PKI pernah mengadakan Kritik Oto Kritik pada tahun 1968 dan 1986.
2.4 Riwayat pengarang dan kepengarangannya.
Riwayat hidup pengarang bisa dijadikan sumber yang relevan untuk menentukan tema dan gaya penulisannya. Sifat- sifat khas sastra ditunjukkan oleh aspek referensialnya (acuan), "fiksionalitas", "ciptaan" dan sifat "imajinatif ”. sastrawan menganalisis "data" kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra.
Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat, pertama, mencoba menterjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang; kedua, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah dan ketiga seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang (Kuntowijoyo, 1987: 127).
Hakikat keberadaan karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi. Putu Wijaya merupakan salah seorang sastrawan yang produktif. Karya-karya Putu Wijaya banyak mendapatkan tanggapan dari para kritikus sastra. Berbagai komentar terhadap novel-novel Putu Wijaya baik yang bersifat sekilas atau yang sifatnya mendalam dalam bentuk esei bermunculan di media massa, buku, maupun dalam forum-forum seminar. Sebagai seorang novelis, Putu Wijaya menempatkan dirinya tak jauh dari kelihaiannya sebagai penulis naskah drama. Dalam prosanya ia cenderung mempergunakan gaya atau metode objektif dalam pusat pengisahannya dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya. Ia lebih berani mengungkapkan kenyataan hidup karena dorongan naluri yang terpendam dalam bentuk bawah sadar, lebih-lebih libodo seksual yang ada dalam daerah kegelapan. Putu Wijaya sebagai tokoh utama sastrawan Indonesia pada dasa warsa 1970-an. Putu Wijaya muncul dan berkembang dalam dekade itu. Dialah sastrawan paling produktif dan paling kreatif pada saat itu. Novel Putu Wijaya juga penuh potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya dan disatukan oleh suasana tema. Sekalipun "struktur dalam" novelnya menunjukkan sifatnya yang kompleks namun masih mungkin dilihat keterikatannya dengan subjeknya, yakni kelompok intelektual yang di dalamnya termasuk pengarangnya.




3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adanya tiga kekuatan besar yang memiliki tujuan yang berbeda memicu terjaqdinya konflik, ketiga kelompok tersebut terlibat dalam konflik politik dan dalam memperjuangkan dan atau mempertahankan kepentingan tersebut, pelaku konflik menggunakan cara kekerasan. Konsekwensinya adalah konflik ini memiliki struktur menang-kalah, yakni konflik yang berakhir dengan kemenangan salah satu pihak dan kekalahan pada pihak lain. Jendral Leonel merupakan pihak yang memenangkan konflik, sedangkan Zabaza dan Baginda Raja merupakan pihak yang kalah dalam konflik. Konflik dalam negara yang dikisahkan novel Nyali dapat dikatakan konflik bertipe negatif, karena berakibat terancamnya eksistensi sistem sosial dan politik serta struktur masyarakat. Hal ini juga ditandai dengan cara- cara kekerasan oleh pihak yang bertikai, yakni pem- brontakan dan kudeta serta terorisme. Bagaimanapun juga, konflik memiliki fungsi yang positif. Perubahan sosial menuju terwujudnya masyarakat yang lebih baik tidak jarang melalui sebuah konflik ter- lebih dahulu. Terbentuknya negara-negara baru sering diakibatkan oleh perang yang merupakan salah satu bentuk konflik politik yang utama. Dalam novel Nyali ditunjukkan bahwa konflik menyebabkan perubahan sosial dan politik yang lebih baik. Masyarakat lama yang penuh dengan pembrontakan dan sengketa yang berkepanjangan diakhiri dan sejak saat itu dimulai era baru yang memungkinkan peru- bahan sosial dan perubahan pada sistem pemerintahan serta kebijakan pembangunan ekonomi, walaupun konflik tersebut tidak bisa dihilangkan sama sekali. Konflik pada hakekatnya merupakan fenomena yang selalu hadir dalam masyarakat, bahkan pada masyarakat yang paling stabil. Dalam Nyali juga ditunjukkan bahwa konflik pada masa silam (masa kerajaan) menjadi salah satu faktor timbulnya konflik pada era yang baru (masa pemerintahan republik). Konflik politik dalam novel Nyali mempunyai keseja- jaran dengan konflik sosial dan politik dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Dalam beberapa hal terdapat kemiripan antara konflik politik dalam Nyali dengan kenyataan dalam sejarah Indonesia. Periode sejarah negara yang dikisahkan oleh Nyali mempunyai kesamaan dengan periode sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Dalam Nyali terdapat dua periode sejarah, yakni masa kerajaan atau bisa disebut Monarkhi dan masa republik. Ciri-ciri yang ditunjukkan kedua masa tersebut memang tidak digambarkan secara lengkap, akan tetapi dalam beberapa bagian selalu disebutkan secara eksplisit bahwa masa itu adalah masa kerajaan dengan Raja sebagai kepala negara. Masa republik ditandai oleh ciri yang utama, yakni kepala negara adalah seorang presiden. Kondisi sosial politik pada masa kerajaan penuh dengan pertentangan-pertentangan politik dan ideologis. Puncak dari konflik politik tersebut adalah peristiwa pembrontakan atau kudeta yang dilakukan oleh gerombolan Zabaza. Kudeta berhasil digagalkan oleh tentara kerajaan, akan tetapi Baginda Raja sekeluarga terbunuh. Hal ini memberikan peluang bagi Jendral Leonel untuk mengambil alih kekuasaan dan mengangkat dirinya sebagai kepala negara serta mengubah sistem pemerintahan. Dengan kata lain pembrontakan atau kudeta tersebut menjadi akhir bagi masa monarkhi dan awal dari kelahiran masa baru yang berbentuk republik. Hal ini mempunyai kemiripan atau kesejajaran dengan periode sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Dalam sejarah Indonesia terdapat dua masa, yaitu orde Lama dan Orde Baru. Kondisi Orde Lama ditandai dengan konflik, pertentangan politik antar partai atau kelompok-kelompok yang memiliki tujuan dan ideologi yang berbeda. Puncak dari konflik tersebut adalah meletusnya peristiwa Gestapu atau pembrontakan G-30-S/PKI. Kudeta atau pembrontakan yang berhasil digagalkan oleh Angkatan Darat tersebut merupakan penutup bagi Orde Lama dan kelahiran Orde Baru. Kesejajaran juga ditunjukkan oleh terdapatnya kekuat- an politik dominan. Dalam Nyali terdapat tiga kekuatan politik dominan yaitu Baginda Raja, Jendral Leonel (tentara), dan gerombolan Zabaza. Dalam masa Orde Lama, terutama pada waktu Demokrasi Terpimpin juga terdapat tiga kekuatan politik yang memainkan peranan besar dalam panggung politik. Kekuatan politik tersebut adalah Presiden Sukarno, Militer (Angkatan Darat), dan PKI. Ketiga kekuat- an politik dominan ini terlibat dalam konflik. Novel Nyali mengandung simbol-simbol yang memiliki keterpaduan dengan konflik sosial dan politik yang menjadi tema novel ini. Simbol-simbol tersebut juga memperkuat kesejajaran antara konflik sosial dan politik dalam novel Nyali dan konflik sosial dan politik dalam sejarah Indonesia. Makna simbolis dari nama tokoh utama, yakni Kropos, memiliki korelasi dengan watak ideologi gerombolan Zabaza. Jika Kropos dipandang sebagai personifikasi gerombolan Zabaza dan Zabaza dipandang sebagai sebuah ideologi, maka sesuai dengan makna simbolis nama Kropos, ideologi Zabaza dalam beberapa hal mempunyai sedikit kemiripan dengan komunisme. Demikian juga dengan keterasingan dan keputusasaan Kropos setelah ia mengalami kekalahan dalam konflik, secara simbolis memiliki kesejajaran dengan nasib sisa-sisa anggota PKI pada masa Orde Baru yang tersingkir dalam beberapa hal. Meskipun tersingkir dan tertindas, sisa-sisa gerombolan Zabaza berusaha untuk bangkit kembali. Hal ini pun memiliki kesejajaran dengan upaya bangkitnya sisa-sisa PKI dewasa ini.
gaya penceritaannya tidak menunjuk secara langsung tentang konflik politik yang terjadi pada kurun sejarah sekitar tahun 1965. Demikian juga novel Nyali tidak menunjuk secara langsung pada latar tempat dan nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa sejarah tersebut.


















Daftar Pustaka
1. Wijaya, Putu. 1994. Nyali. Cet 3. Jakarta: Balai Pustaka.
2. Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.
3. www. Sosiologi sastra. co. id














Lampiran
Sinopsis
NYALI
Novel Nyali karya Putu Wijaya mengisahkan konflik sosial dan politik yang terjadi dalam sebuah negara. Konflik tersebut termanifestasi dalam bentuk pembrontakan yang dilakukan oleh gerombolan Zabaza dibawah pimpinan Kropos. Kondisi sosial dan politik dalam negara tersebut sangat potensial bagi munculnya konflik. Masyarakatnya terpolarisasi ke dalam kelompok-kelompok kepentingan, lembaga-lembaga, organisasi, dan kelas-kelas sosial yang tidak selalu memiliki kepentingan yang sama dan serasi. Kelompok-kelompok tersebut adalah Baginda Raja yang mewakili kelompok yang berkuasa, gerombolan Zabaza, dan Jendral Leonel yang sesungguhnya mewakili kelompok militer. Baginda Raja bertujuan untuk mempertahankan sistem politik yang sedang berlaku ; mempertahankan status quo. Jendral Leonel bertujuan merombak sistem yang berlaku atau dengan lain perkataan ia menghendaki terjadinya perubahan sosial, sedangkan gerombolan Zabaza mempunyai cita-cita untuk mengadakan revolusi kepribadian yang membuat setiap warga negara menjadi hamba kerajaan yang baik.
Ketiga kelompok tersebut terlibat dalam konflik politik dan dalam memperjuangkan dan atau mempertahankan kepentingan tersebut, pelaku konflik menggunakan cara kekerasan. Hal ini terjadi karena negara itu tidak punya sarana berupa konsensus atau konstitusi dalam mengatur konflik dan masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik tidak berusaha untuk mencapai konsensus dengan cara berunding secara damai untuk memperoleh penyelesaian yang menguntungkan semua pihak. Konsekwensinya adalah konflik ini memiliki struktur menang-kalah, yakni konflik yang berakhir dengan kemenangan salah satu pihak dan kekalahan pada pihak lain. Jendral Leonel merupakan pihak yang memenangkan konflik, sedangkan Zabaza dan Baginda Raja merupakan pihak yang kalah dalam konflik.
Konflik dalam negara yang dikisahkan novel Nyali dapat dikatakan konflik bertipe negatif, karena berakibat terancamnya eksistensi sistem sosial dan politik serta struktur masyarakat. Hal ini juga ditandai dengan cara- cara kekerasan oleh pihak yang bertikai, yakni pem- brontakan dan kudeta serta terorisme.
Bagaimanapun juga, konflik memiliki fungsi yang positif. Perubahan sosial menuju terwujudnya masyarakat yang lebih baik tidak jarang melalui sebuah konflik ter- lebih dahulu. Terbentuknya negara-negara baru sering diakibatkan oleh perang yang merupakan salah satu bentuk konflik politik yang utama. Dalam novel Nyali ditunjukkan bahwa konflik menyebabkan perubahan sosial dan politik yang lebih baik. Masyarakat lama yang penuh dengan pembrontakan dan sengketa yang berkepanjangan diakhiri dan sejak saat itu dimulai era baru yang memungkinkan peru- bahan sosial dan perubahan pada sistem pemerintahan serta kebijakan pembangunan ekonomi, walaupun konflik tersebut tidak bisa dihilangkan sama sekali. Konflik pada hakekatnya merupakan fenomena yang selalu hadir dalam masyarakat, bahkan pada masyarakat yang paling stabil. Dalam Nyali juga ditunjukkan bahwa konflik pada masa silam (masa kerajaan) menjadi salah satu faktor timbulnya konflik pada era yang baru (masa pemerintahan republik).
Konflik politik dalam novel Nyali mempunyai keseja- jaran dengan konflik sosial dan politik dalam sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Dalam beberapa hal terdapat kemiripan antara konflik politik dalam Nyali dengan kenyataan dalam sejarah Indonesia. Periode sejarah negara yang dikisahkan oleh Nyali mempunyai kesamaan dengan periode sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Dalam Nyali terdapat dua periode sejarah, yakni masa kerajaan atau bisa disebut Monarkhi dan masa republik. Ciri-ciri yang ditunjukkan kedua masa tersebut memang tidak digambarkan secara lengkap, akan tetapi dalam beberapa bagian selalu disebutkan secara eksplisit bahwa masa itu adalah masa kerajaan dengan Raja sebagai kepala negara. Masa republik ditandai oleh ciri yang utama, yakni kepala negara adalah seorang presiden. Kondisi sosial politik pada masa kerajaan penuh dengan pertentangan-pertentangan politik dan ideologis. Puncak dari konflik politik tersebut adalah peristiwa pembrontakan atau kudeta yang dilakukan oleh gerombolan Zabaza. Kudeta berhasil digagalkan oleh tentara kerajaan, akan tetapi Baginda Raja sekeluarga terbunuh. Hal ini memberikan peluang bagi Jendral Leonel untuk mengambil alih kekuasaan dan mengangkat dirinya sebagai kepala negara serta mengubah sistem pemerintahan. Dengan kata lain pembrontakan atau kudeta tersebut menjadi akhir bagi masa monarkhi dan awal dari kelahiran masa baru yang berbentuk republik.
Hal ini mempunyai kemiripan atau kesejajaran dengan periode sejarah Indonesia pasca kemerdekaan. Dalam sejarah Indonesia terdapat dua masa, yaitu orde Lama dan Orde Baru. Kondisi Orde Lama ditandai dengan konflik, pertentangan politik antar partai atau kelompok-kelompok yang memiliki tujuan dan ideologi yang berbeda. Puncak dari konflik tersebut adalah meletusnya peristiwa Gestapu atau pembrontakan G-30-S/PKI. Kudeta atau pembrontakan yang berhasil digagalkan oleh Angkatan Darat tersebut merupakan penutup bagi Orde Lama dan kelahiran Orde Baru.
Kesejajaran juga ditunjukkan oleh terdapatnya kekuat- an politik dominan. Dalam Nyali terdapat tiga kekuatan politik dominan yaitu Baginda Raja, Jendral Leonel (tentara), dan gerombolan Zabaza. Dalam masa Orde Lama, terutama pada waktu Demokrasi Terpimpin juga terdapat tiga kekuatan politik yang memainkan peranan besar dalam panggung politik. Kekuatan politik tersebut adalah Presiden Sukarno, Militer (Angkatan Darat), dan PKI. Ketiga kekuat- an politik dominan ini terlibat dalam konflik.
Novel Nyali mengandung simbol-simbol yang memiliki keterpaduan dengan konflik sosial dan politik yang menjadi tema novel ini. Simbol-simbol tersebut juga memperkuat kesejajaran antara konflik sosial dan politik dalam novel Nyali dan konflik sosial dan politik dalam sejarah Indonesia. Makna simbolis dari nama tokoh utama, yakni Kropos, memiliki korelasi dengan watak ideologi gerombolan Zabaza. Jika Kropos dipandang sebagai personifikasi gerombolan Zabaza dan Zabaza dipandang sebagai sebuah ideologi, maka sesuai dengan makna simbolis nama Kropos, ideologi Zabaza dalam beberapa hal mempunyai sedikit kemiripan dengan komunisme. Demikian juga dengan keterasingan dan keputusasaan Kropos setelah ia mengalami kekalahan dalam konflik, secara simbolis memiliki kesejajaran dengan nasib sisa-sisa anggota PKI pada masa Orde Baru yang tersingkir dalam beberapa hal. Meskipun tersingkir dan tertindas, sisa-sisa gerombolan Zabaza berusaha untuk bangkit kembali. Hal ini pun memiliki kesejajaran dengan upaya bangkitnya sisa-sisa PKI dewasa .

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda