Minggu, 03 Januari 2010

SERTIFIKASI LELUCON PERBURUAN SERTIFIKAT

Oleh Ahmad Fatoni*

Sejak digulirkannya sertifikasi guru apabila seorang guru yang memenuhi empat kompetensi yaitu profesional, akademis, kepribadian, dan sosial akan mendapatkan tunjangan profesi sebesar 100% gaji pokok. Perburuan sertifikat seolah menjadi trend terbaru di kalangan dunia pendidikan.
Perburuan ini menjadi fenomena tersendiri seperti halnya fenomena zaman batu Ponari. Banyak guru-guru senior yang awalnya menolak jika ditugasi untuk mengikuti kegiatan pengembangan profesi, justru sekarang mereka rela merogoh kocek pribadi untuk ikut dalam penataran, seminar, workshop, pokoknya kegiatan yang menjanjikan piagam atau sertifikat. Bahkan hari-hari libur yang semula diisi dengan jadwal berkumpul keluarga, arisan dan sejenisnya rela mereka tinggalkan, demi selembar sertifikat.
“Ada gula ada semut” peribahasa ini kini lebih melekat kuat dipikiran guru yang mengejar tunjangan profesi dari pada dipikiran anak didiknya.
Professi guru adalah professi yang sudah tua, sama halnya dengan professi berdagang, bertani, nelayan, bertukang, dan lain-lain. Professi guru memegang peranan yang sangat penting untuk mencerdaskan generasi muda bangsa ini agar bisa memiliki sumber daya manusia (SDM) yang handal. Apalagi untuk negara yang cukup luas dan kaya dengan sumberdaya alam yang memerlukan manusia terampil dan mempunyai SDM tinggi untuk mengelolanya.
Tetapi seiring gencarnya pelaksanaan sertifikasi itu, para ”pahlawan tanpa tanda jasa” malah sibuk berburu sertifikat. Orientasi memperoleh sertifikat pun berubah seiring ”kebutuhan”. Salah satu syarat bagi guru untuk lolos sertifikasi adalah mengantongi sertifikat forum ilmiah,di samping ijazah akademik. Itulah yang membuat mereka mulai berburu sertifikat.
Kalau dulu umumnya guru enggan mengikuti seminar karena biaya mahal,jarak jauh,serta waktu terbatas, kini pandangan itu berubah. Para guru siap mengeluarkan kocek berapa pun untuk memperoleh sertifikat. Sekarang jarak bukan lagi jadi halangan. Ketika acara berada di luar kota, mereka siap berangkat, demi selembar kertas yang bertuliskan “sertifikat” yang intinya menyatakan keikutsertaan mereka dalam forum ilmiah.
Pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, kalau dipikir-pikir terkadang mengeluarkan kebijakan yang salah, yang membuat dunia pendidikan nasional mabuk. Seharusnya depdiknas lebih peka terhadap fenomena ini.
Antara sertifikasi dan evaluasi
Menurut silsilah, sertifikasi sebenarnya untuk memberikan jaminan kompetensi kepengajaran dan kependidikan yang dimiliki oleh seorang guru. Namun, semua itu seolah menjadika guru sebagai predator agar mampu menjadi salah satu yang lolos sertifikasi. Sedangkan evaluasi adalah suatu proses untuk menilai perkembangan kemampuan dan profesionalisme seorang guru.
Proses evaluasi guru dilaksanakan secara berkesinambungan, yang pelaksanaannya dapat dikendalikan dari pusat atau diserahkan kepada pemerintah daerah. Kriteria evaluasi mencakup teknik pengajaran, kemampuan manajemen kelas, partisipasi managerial, dan kehidupan sosial guru, termasuk sikap dan tingkah laku.
Hasil evaluasi dapat dipergunakan sebagai parameter untuk meningkatkan kesejahteraan guru berupa bonus atau tunjangan lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam UU Guru dan Dosen, pemerintah berkewajiban memenuhi pendapatan guru dan memberikan tunjangan-tunjangan.
Sejujurnya konsep pemerintah saat ini yang mengatakan bahwa gaji guru akan dinaikkan setelah mendapatkan sertifikat, akan berdampak kepada ketidakpercayaan yang akan menumpuk karena sifatnya sangat kondisional. Pemerintah harus menetapkan gaji dasar guru yang manusiawi yang berhak diperoleh oleh semua guru pemegang sertifikat guru. Adapun tunjangan dan bonus diberikan berdasarkan prestasi gemilang guru setelah dievaluasi. Evaluasi guru pun dapat dipergunakan sebagai dasar untuk meningkatkan kemampuan mengajar dan manajerial guru melalui training keguruan.
Jika seharusnya demikian, maka ini hanyalah lelucon dunia pendidikan yang mana harapan dan kenyataan sangat bertolak belakang? Dengan menghalalkan segala cara, sangat jelas bahwa sertifikasi hanyalah upaya sebagian guru untuk mendapat gaji lebih. Jika memang seperti itu apa yang harus dievaluasi?
Sungguh ironis, disaat kita prihatin dengan kondisi mutu pendidikan, para pendidik malah terkena virus yang sulit dicarikan obatnya. Akibatnya mutu pendidikan masih merupakan misteri yang sulit dicari solusinya. Yang ada dibenak sebagian guru sekarang hanyalah tunjangan profesi 100%, bukan bagaimana berkinerja terbaik demi mutu pendidikan bangsa.
Akankah seperti cerita pengalaman di atas terus dibiarkan berjalan ? Rupanya kita masih harus memanjangkan hela nafas, menyaksikan pemandangan alam yang tidak indah dipandang. Hanya doa dan harapan semoga kita semua segera tersadar dan bangun dari tidur panjang yang melelahkan ini.





AHMAD FATONI
Mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda