Minggu, 03 Januari 2010

BALIHO LIAR SEMAKIN MENGGELIAT

Oleh Ahmad Fatoni

Pemandangan kita akan terganggu jika melihat kondisi kota sekarang ini, bagaimana tidak sekarang dimana-mana baliho terpasang disetiap sudut kota. Tempat ramai seperti perempatan inilah menjadi ladang baru bagi baliho-baliho untuk tumbuh dan berkembang. Tidak menjadi persoalan jika baliho itu sudah mendapat ijin berdiri atau ijin reklame, yang jadi masalah sebagian besar dari baliho itu adalah baliho liar.
Menggeliatnya baliho ini sungguh memprihatinkan. Tidak ada kesadaran dari pihak pemasang yang mengabaikan perijinan pemasangan baliho. Baliho tidak mengenal musim tanam dan musim panen, setiap ada lahan kosong ia akan tumbuh dengan liar. Memang fenomena ini perlu dikaji lebih teliti, siapakah yang wajib dipersalahkan jika seandainya baliho merusak muka kota.
Satpol PP sebagai pengatur ketertiban memiliki peran kuat untuk menekan jumlah baliho liar yang menjadi-jadi. Memang tidak sedikit yang sudah dibersihkan, tetapi semua itu seolah mustahil karena hari ini dicopot besok hari sudah ada yang baru lagi. Akhirnya satpol PP pun kwalahan.
Ndableknya para pemasang yang menempatkan balihonya disembarang tempat membuat resah masyarakat. Sungguh masyarakatlah yang dirugikan dengan menjamurnya baliho ini.
Sungguh sekarang ini tidak ada yang gratis di dunia ini, semuanya harus bayar jika tidak ingin dipermasalahkan, termasuk bagi para orang yang ingin memperkenalkan dirinya atau usahanya melalui poster, baliho, atau pun spanduk.
Di Malang sebanyak 42 baliho milik Alfamart dirobohkan secara paksa oleh jajaran satuan polisi (Satpol PP) Kota Malang. Pasalnya, baliho perusahaan ritel yang tersebar di seluruh kota Malang ini tidak memiliki izin. “Terpaksa kami tertibkan seluruh baliho ini karena tidak memiliki izin,” ujar Drs Tripim Aprilianto, sekretaris Badan Satpol PP, Selasa (17/2).
Melihat fenomena di atas menunjukkan terpuruknya system dalam dunia periklanan termasuk dalam ijin penempatan baliho maupun pemasangan baliho. Mereka yang seharusnya menjadi contoh yang baik dengan mendaftar ke dispenda akan retribusi malah mengabaikan semua itu demi kepentingan pribadi.
Banyak pengamat mengatakan bahwa kesuksesan baliho dalam memperkenalkan isinya hanya sekitar 20%. Itu memang realistis mengingat baliho terpasang di atas sedang kita yang berjalan tidak selamanya melongok ke atas. Tapi entah mengapa seolah baliho menjadi acuan utama dalam mendulang ketenaran supaya dikenal publik. Atau memang semua itu cerminan masih rendahnya pengetahuan kita akan proses komunikasi massa.
Perlu adanya ketegasan dari pihak pengelola ketertiban kota menindak lanjuti pelanggaran-pelanggaran ini. Satpol PP harus bekerja ekstra memberikan sosialisasi akan baliho kepada masyrakat luas agar kota tidak lagi menjadi lahan yang subur untuik pertumbuhan baliho-baliho liar.
Satpol PP wajib menertibkan baliho yang terpasang di area terlarang, mereka harus konsisten. "Artinya jangan tebang pilih. Semua baliho harus dibersihakn. Baik yang dipasang di pohon kota atau yang lainnya agar keindahan kota tetap terjaga, jika perlu diberikan sangsi tegas pada mereka yang sengaja memasang iklan tanpa ijin retribusi dengan hukuman penjara. Selain dari pehak penertib para penanam baliho juga wajib sadar bahwa didunia ini semua harus ijin. Tidak boleh dengan seenaknya sendiri jika semua itu berhubungan dengan kalayak umum.
“Baliho oh baliho, sungguh tidak ada yang salah denganmu, hanya merekalah yang mebuatmu bersalah dengan tidak mencantumkanmu ijin berdiri yang akhirnya kamu dirobohkan”.
Demi kepentingan dan kenikmatan bersama kita wajib menjaga keindahan kota supaya tetap terlihat indah tanpa ada persegi empat menempel disembarangan tempat. Perlu adanya kerjasama antara masyarakat dengan petugas ketertiban dalam menjaga kebersihan dan ketertiban kota. Jika yang memasang baliho memberikan ijin retribusi maka pemerintah juga akan mendapat keuntungan untuk pemekaran kota untuk menjadi kota idaman semua.
Mari kita jaga kota kita dari segi empat bertiang yang tak mungkin berbuah, bukankah lebih baik menanam padi yang sudah pasti akan memanen buahnya. Jika tidak mampu menjadi yang terbaik maka kita harus menjadi yang pertama supaya nantinya menjadi contoh kota-kota lain di seluruh Indonesia.





AHMAD FATONI
Mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda